Menolak Eksekusi Berdasarkan "Petikan Putusan"

Sidang Mantan Dirut Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan
Sumber :
  • VIVAnews/ Muhamad Solihin

Saya bukan sedang melawan Hukum
Namun saya sedang menaati Undang-Undang
Apa yang tertulis di aturan berlaku buat saya, Jaksa dan kita semua yang ada di Indonesia ini.

(Hotasi Nababan, Juli 2014)

Diecast Bukan Sekadar Mainan Semata

Surat ini saya buat sebagai respons terhadap Eksekusi yang dilakukan oleh Jaksa terhadap diri saya pada hari Selasa Pukul 19.30 tanggal 22 Juli 2014 bertempat di Terminal C Bandara Soekarno Hatta, yang hanya berdasarkan “petikan putusan”. Sebuah tindakan Eksekusi yang illegal, tidak berdasar, abuse of power karena tidak dapat ditemukan aturannya di kitab perundangan hukum acara pidana kita.

Eksekusi menurut undang-undang

Terkait pelaksanaan eksekusi terhadap perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, Pasal 270 UU No. 8/1981 (KUHAP) menyatakan: "pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.” Mengenai waktu pelaksanaan putusan, Pasal 197 ayat (3) KUHAP mengatur bahwa "putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan UU ini", tanpa penjelasan mengenai arti kata segera ini.

Sehingga apabila Pasal 197 (3) KUHAP ini dihubungkan dengan Pasal 270 KUHAP, maka kata ”segera” disini dapat diartikan segera setelah menerima salinan putusan dari Panitera. Hal ini sejalan juga dengan isi Surat Edaran Kejaksaan Agung B-128/E/3/1995 tentang Tugas dan tanggung jawab Jaksa selaku Eksekutor Putusan Pengadilan.

Karena hal terkait eksekusi ini sudah sangat jelas dan terang diatur didalam Undang undang (KUHAP), sehingga tidak lagi dibutuhkan tafsir apalagi aturan operasional yang lebih rendah untuk menerangkannya. Apalagi kalau kemudian aturan tersebut menimbulkan kerancuan dan pertentangan hukum. Kalau kewenangan yang diperoleh dengan undang-undang dilemahkan normanya dengan peraturan pemerintah (apalagi Surat Edaran) yang “kelasnya” jauh lebih rendah dari UU, itu berarti inkonstitusional.

Berdasarkan ketentuan ini maka dasar eksekusi adalah "salinan putusan", bukan "petikan putusan" seperti beberapa tahun ini lazim dipraktekkan oleh Jaksa. Praktek ini jelas inkonstitusional, bertentangan dengan UU dan Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung sendiri. Karena kedua hal, salinan putusan dan petikan putusan ini jelas sangat berbeda. Petikan putusan hanya berisi amar putusan saja tanpa merinci lebih lanjut dasar pertimbangan dari hakim dalam memutus.

Sedangkan salinan putusan merupakan turunan putusan yang telah diminutasi dan berisi seluruh ketentuan sebagai mana dimaksud Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Putusan resmi saja apabila tidak memenuhi dan memuat salah satu dari 12 (dua belas) komponen dari ketentuan didalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP ini dinyatakan batal demi hukum. Apalagi petikan putusan yang jelas-jelas hanya berisi extract (sari, kutipan) dari putusan hakim dan hanya memuat beberapa komponen dari ketentuan 197 ayat (1) KUHAP.

Inilah dasar sehingga pelaksanaan eksekusi terhadap perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap harus berdasarkan salinan surat putusan resmi.

Petikan putusan

Ketentuan mengenai petikan putusan ini diatur dan dapat kita temukan di Pasal 226 ayat (1) KUHAP yang menyatakan: “petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya segera setelah putusan diucapkan”.

Dari ketentuan Pasal 226 ayat (1) KUHAP ini imperatif dan jelas mengatur bahwa petikan putusan hanya diberikan oleh pengadilan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya saja! Jaksa bukanlah pihak yang ikut menerima dan diberikan petikan putusan oleh pengadilan.

Remaja Perempuan 16 Tahun Ditemukan Tewas Usai Ngamar Bareng 2 Pria di Hotel Jaksel

Inilah ketentuan yang semakin memperkuat bahwa Jaksa tidak mungkin dapat melakukan eksekusi terhadap sebuah perkara pidana berdasarkan petikan putusan, karena dia sendiri bukanlah bagian dari pihak yang menerima petikan putusan itu sebagaimana diatur oleh UU. Jaksa menerima petikan putusan saja sudah merupakan tindakan illegal, apalagi dia mempergunakan petikan tersebut untuk mengeksekusi si terpidana.

Pertanyaannya kemudian dari mana mereka menerima petikan putusan tersebut? Tindakan mereka menerima petikan putusan ini, walaupun sudah lazim dan biasa dilakukan didalam praktek adalah salah, karena jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan UU. Apalagi kemudian mereka memaksa melakukan eksekusi berdasarkan petikan ini!

Sebaliknya, berbeda dengan petikan putusan ini, Pasal 226 ayat (2) KUHAP secara jelas mengatur: ”salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik, sedangkan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberikan atas permintaan”.

Ketentuan Pasal 226 ayat (2) KUHAP inilah yang menjadi dasar sehingga di Pasal 270 KUHAP mengatur bahwa Jaksa melaksanakan eksekusi harus berdasarkan salinan putusan. Karena UU telah mengatur bahwa salinan putusan ini adalah hak mereka untuk menerimanya.

Pengadilan wajib mengirimkan dan memberikan salinan ini kepada Jaksa. Karena inilah dasar mereka untuk mengeksekusi terpidana. Sedangkan terpidana bisa menerima salinan putusan ini karena meminta ke pengadilan, atau bisa juga menerimanya langsung dari Jaksa ketika eksekusi dilakukan.

Kesimpulan dan Penegasan

Inilah dasar saya HOTASI DP NABABAN menolak eksekusi yang dilakukan oleh Jaksa pada hari Selasa Pukul 19.30 tanggal 22 Juli 2014 di Terminal C Bandara Soekarno Hatta yang didasarkan pada "petikan putusan". Semua kita yang hidup di Indonesia ini haruslah menjadi individu yang taat hukum. Termasuk saya dan Jaksa juga termasuk didalamnya.

Kabar Sandra Dewi Dicekal Kejagung, Pengacara Harvey Moeis Bilang Begini

Hukum adalah apa yang tertulis di undang-undang, yang ketika disahkan sebagaimana asasnya kita semua dianggap tahu. Ketika saya menolak eksekusi yang dilakukan oleh Jaksa berdasarkan petikan putusan, saya bukan sedang melawan Jaksa apalagi melawan hukum.

Namun saya sedang mengambil posisi menaati undang-undang, sebagaimana tertulis dalam aturan. Sebuah aturan yang kita ketahui bersama, berlaku buat saya, Jaksa dan kita semua yang ada di Indonesia ini. Tanpa pengecualian saya adalah orang yang taat hukum.

Merdeka!!!

Hotasi D.P. Nababan

Eks Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil

IPK 2,77 dan Lulusan ITB, Ridwan Kamil: Saya Pasti Enggak Bisa Kerja di KAI, tapi Buktinya...

Mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menjawab pertanyaan soal pengaruh Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) terhadap profesi dalam kolom komentar di media sosialnya.

img_title
VIVA.co.id
25 April 2024